HATI YANG
MERENUNGI KISAH: SEBUAH ULASAN BUKU “SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA” KARYA
AJAHN BRAHM
Saya tidak pernah mengenal penulis ini sebelumnya, hanya saja saya
selalu penasaran dengan sesuatu yang saya anggap baru. Saya menyukai kegiatan
membolak-balik buku di rak buku pada sebuah toko buku, lantas pandangan mata
saya berbinar campur penasaran menatap judul buku tersebut, “Si Cacing dan Kotoran
Kesayangnnya”. Saya pikir buku ini hanya berisi kisah kisah motivasi saja, saya
tertarik dan membawanya ke kasir beserta buku-buku lainnya. Tak sabar, segera
kubuka segelnya dan saya menyukai semua isi di dalamnya. Ini buku pertama yang
akan saya ulas isinya di sini. Nanti akan saya sampaikan judul kisah sesuai
judul buku. Bukan sinopsisnya saja tetapi saya tampilkan utuh agar pembaca yang
budiman pun (semoga) senang membaca dan menikmatinya.
Buku ini merupakan buku pertama dari dua sekuel lainnya dengan
judul yang sama di sampul depannya. Buku pertama ini berisi 108 bab yang semua
kisahnya sangat menarik, inspiratif dan menjadikan kita lebih tenang dan
berkesadaran. Buku ini telah terbit dengan 24 bahasa di dunia dengan tebal 294
halaman.
Jangan memasang pandangan bahwa buku ini adalah ajaran budha atau
ajaran dari Vihara, tetapi tanamkan kepercayaan bahwa semua isi di dalam buku
ini adalah ajaran kebaikan bagi seluruh umat dan sudah tertuang pula dalam
hadits dan ayat-ayat alquran. Semua kembali ke diri masing-masing untuk kembali
ke ajaran benar mana yang paling dipercayai sesuai syariat agama kita, Islam.
Ajahn Brahm lahir di London pada tahun 1951 dan meraih gelar
Sarjana Fisika teori di Universitas Cambridge. Pada usia 23 tahun ia menjadi
petapa di hutan Thailand dan sejak 1983 pindah ke Perth. Ia mendapat Medali
John Curtin dari Universitas Curtin Australia atas pelayanannya mengunjungi
penjara, rumah sakit, dan rumah duka. Ia berkeliling dunia untuk berbagi kasih
dan kebahagiaan dalam ceramah dan retret. Ajahn Brahm juga melakukan Tour
d’Indonesia untuk berceramah di puluhan kota di hadapan ratusan ribu hadirin. Menarik
sekali sedikit riwayat dari Ajahn Brahm, dari sini apa yang dapat kita petik
sebagai manusia berketuhanan diantaranya adalah; untuk berbuat baik tidak
memandang bulu dan tidak memandang agama apapun sebab Tuhan menciptakan banyak
ragam di antara kita dan semua diberikan nyama dan kehidupan; untuk menjadi
baik lakukan berbagai hal kebaikan dan senantiasa berbagi kasih dan kebahagiaan
meskipun kecil. Yakinlah bahwa sesuatu yang besar berawal dari yang kecil.
Banyak judul menarik di dalam buku ini yang membuat kita tertegun, tertawa dan menertawakan diri sendiri atas kebodohan diri sendiri, juga melelehkan air mata ketika membaca beberapa bagian di dalamnya.
Buku ini terdiri atas beberapa bagian, diantaranya: Kesempurnaan
dan Kesalahan terdiri atas sepuluh judul sub judul; Cinta dan Komitmen terdiri
atas delapan sub judul; Rasa Takut dan Rasa Sakit terdiri atas sembilan sub
judul; Kemarahan dan Pemaafan terdiri atas delapan sub judul; Menciptakan
Kebahagiaan terdiri atas sepuluh sub judul; Masalah Kritis dan Pemecahannya
terdiri atas tigabelas sub judul; Kebijaksanaan dan Keheningan terdiri atas
sepuluh sub judul; Pikiran dan Realitas terdiri atas enam sub judul;
Nilai-Nilai dan Kehidupan Spiritual terdiri atas tujuh sub judul; Kebebasan dan
Kerendahan hati terdiri atas empat belas sub judul; Penderitaan dan Pelepasan
terdiri atas tiga belas sub judul. Tak ada yang tak menarik dari semua kisah di
dalamnya. Semua menginspirasi diri.
Berikut kisah utuh dari sub
judul paling akhir yang sesuai dengan judul sampul “Si Cacing dan Kotoran
Kesayangannya”.
***
Sebagian orang memang kelihatannya tidak kepingin bebas dari
masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan,
mereka akan menyetel sinetron televise untuk mengkhawatirkan
persoalan-persoalan tokoh-tokoh fiksi di dalamnya. Banyak juga yang merasa
bahwa ketegangan membuat mereka lebih “hidup”, mereka menganggap penderitaan
sebagai hal yang mengasyikkan. Agaknya mereka tidak ingin bahagia, karena
mereka mau-maunya begitu melekat pada beban mereka.
Dua orang biksu merupakan teman dekat sepanjang hidup mereka.
Setelah mereka meningga;, satu terlahir sebagai dewa di sebuah alam surge yang
indah, sementara terlahir sebagai seekor cacing di seonggok kotoran.
Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan bertanya-tanya
di manakah dia terlahir ulang. Dia tidak bisa menemukannya di alam surge yang
ditinggalinya. Lalu dia pun mencari-cari temannya di alam-alam surge yang lain.
Temannya tidak ada di sana pula. Dengan kekuatan surgawinya, sang dewa mencari
temannya di dunia manusia, namun tidak ketemu juga. Pastilah, pikirnya, temanku
tidak akan terlahir di alam hewan, tetapi dia memeriksa alam hewan juga, siapa
sang dewa mencari ke dunia serangga dan jasad renik, dan kejutan besar
baginya…, dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam
seonggok kotoran yang menjijikkan!
Ikatan persahabatan mereka begitu kuat, sampai sampai melewati
batas kematian. Sang dewa merasa dia harus membebaskan kawan lamanya ini dari
kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa yang membawanya ke
situ.
Sang dewa lalu muncul di depan onggokan kotoran tersebut dan
memanggil, “Hei, cacing! Apa kamu ingat aku? Kita dahulu sama-sama jadi biksu
pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir ulang
di alam surge yang menyenangkan, sementara kamu terlahir di kotoran sapi yang
menjijikkan ini. tetapi jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surge
bersamaku. Ayolah, kawan lama!”
“Tunggu dahulu!” kata si cacing, “apa sih hebatnya ‘alam surga’
yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia di sini, bersama kotoran yang
harum, nikmat, dan lezat ini. Terima kasih banyak!”
“Kamu gagal paham!” kata sang dewa, lalu dia melukiskan betapa
menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga.
“Apakah di sana ada kotoran?” tanya si cacing, to the point.
“Tentu saja tidak ada!” dengus sang dewa.
“Kalau begitu, aku emoh pergi!” jawab si cacing mantap. “Sudah ya!”
Dan si cacing pun membenamkan dirinya ke tengah onggokan kotoran tersebut.
Sang
dewa berpikir, mungkin kalau sic acing sudah melihat sendiri alam surge itu,
barulah dia akan mengerti. Lalu sang dewa menutup hidungnya dan menjulurkan
tangannya ke dalam kotoran itu, mencari-cari sic acing. Begitu ketemu, dia
menariknya.
“Hei! Jangan ganggu aku!” teriak sic acing. “Tolooong! Darurat! Aku
diculiiiik! Cacing kecil yang licin itu menggeliat dan meronta sampai terlepas,
lalu kembali menyelam ke onggokan kotoran untuk bersembunyi.
Dewa yang baik hati ini kembali merogohkan tangannya ke dalam
kotoran, kena, dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Nyaris bisa keluar,
tetapi karena sic acing berlumuran lender dan terus menggeliat membebaskan
diri, akhirnya terlepas lagi di dalam kotoran. Seratus delapan kali sang dewa
mencoba mengeluarkan cacing malang itu dari onggokan kotorannya, namun sic
acing begitu melekat dengan kotorannya, sehingga dia terus meloloskan diri!
Akhirnya sang dewa menyerah dan kembali ke surge, meninggalkan sic acing
bodoh di onggokan kotoran kesayangannya.
Berakhir sudah 108 cerita dalam buku
ini.
Apa yang didapatkan dari kisah tersebut? Di dalamnya, begitu banyak
nilai yang dapat menjadi bahan renungan kita sebagai manusia yang ingin selalu
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semula saya tak paham dengan maksud dari
judul buku ini, akhirnya saya langsung menuju judul bacaan yang sama dengan
judul di sampul depan. Setelah membaca berulang kali, itupun pelan-pelan,
barulah saya paham bahwasanya, kita, manusia yang menyukai hal buruk atau kotor
tanpa mau berubah sama halnya dengan cacing yang menyukai hidup dengan
kotorannya sendiri meski telah ditarik berulangkali hendak dibawa ke surga.
Pernah juga kita dengar kata-kata motivasi yang berseliweran di
media sosial manapun, bahwa motivasi terbesar diri kita adalah diri kita
sendiri. Artinya, sebesar apapun orang di luar diri kita memengaruhi, jika kita
sendiri tak tertarik untuk bergerak dan berubah, maka sia-sialah omongan orang
lain itu, seperti angina yang berhembus atau pepatah jawa mengatakan melbu
kuping tengen metu kuping kiwo, sia-sia.
Dengan demikian cukuplah bagi kita mengambil kisah tersebut sebagai bahan pelajaran bahwa siapapun yang
mau berubah menjadi lebih baik, maka mulailah dari diri kita sendiri. Seperti
sudah dijelaskan dalam sebuah ayat yang maknanya kurang lebih adalah “Allah
tidak akan mengubah suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Beberapa
pepatah Tiongkok Kuno pun dapat dijadikan pedoman hidup, bahwa “Jadilah bajik,
dan engkau akan menyadari, dirimu terlalu keras menghakimi orang lain.”
Wallahualam bisshowab.
Februari-Maret, 2021
Komentar
Posting Komentar